"Cinta Itu Buta" |
Dia tampak begitu anggun dengan
kemeja biru muda dan celana panjang hitamnya pagi ini. Mataku tak pernah lepas
memandang wajah sumringah gadis asli Tapanuli yang saat ini kuliah satu kampus
denganku. Tepatnya dia adalah adik tingkatku. Sejak awal dia masuk kuliah, aku
sudah tertarik padanya. Entah kenapa, gadis itu merebut perhatianku dengan
sikapnya yang lebih sering diam daripada bicara pada orang lain.
Anita. Aku biasa memanggilnya dengan
sebutan Nita. Nama itu pun kuketahui dari teman-temanku sebelum dia mau
menerima uluran tanganku saat kuajak berkenalan. Dingin, sedikit aneh, namun
penuh daya tarik, itulah pandanganku tentangnya diawal perkenalan. Dapat
kurasakan ada sejuta misteri tersimpan dalam diri gadis itu. Dan saat ini, aku
telah sedikit menemukan jawabannya.
“Anita tidak seperti gadis pada umumnya. Dia bukan gadis
baik-baik. Lebih baik kau pikirkan lagi sebelum terlanjur jauh berhubungan
dengannya."
Sanz, teman dekatku di kampus,
lagi-lagi mengatakan hal yang sama untuk kesekian kalinya. Ini sudah ketiga
kalinya ia bicara begitu tentang Anita. Ya. Sejak kukatakan kalau aku jatuh
cinta pada Nita.
“Itu kan baru omongan anak-anak, Sanz Kita sendiri nggak tahu
kebenarannya."
Aku mengangkat bahu sambil
menyeringai ke arah Sanz. Dia cuma mendesah kesal melihat sikapku. Ngotot! Itu
istilah Sanz untukku.
"Apa kamu sudah membuktikannya
sendiri, Sanz?"
"Ha? Maksudmu?"
"Ya....apa kamu pernah lihat
sendiri Anita melakukan pekerjaan itu?"
"Belum sih. Tapi Radja, playboy
kelas kakap itu katanya pernah merasakannya langsung."
"Ah! Merasakan apa?"
"Tingkah liar Anita." Sanz
diam sejenak. "Radja kan pernah pacaran sama dia. Kalau mau tahu persis,
tanya aja sama Radja."
"Tapi kalau cuma gara-gara Radja, ya nggak bisa jadi bukti untuk memvonis Anita melakukan pekerjaan itu
kan?"
"Eh, mas, anak-anak sudah tahu
semua soal pekerjaan Anita. Atau kau langsung saja cari tahu dari Anitanya
sendiri."
" Gila kamu!"
Kutinggalkan Sanz untuk masuk kuliah.
Kulihat ia masih cengar-cengir nggak karuan.
Di ruang kuliah pikiranku melayang
pada Anita. Berjuta pertanyaan menyesaki pikiranku siang ini. Kadang aku merasa
risih juga kalau mengingat pekerjaan Anita seperti apa yang dikatakan anak-anak
di kampus. Serendah itukah Anita? Menjadi seorang wanita penghibur yang keluar
tiap malam untuk melayani para lelaki hidung belang dan bertangan nakal. Jika
memang benar, apa alasan Anita hingga mau melakukan pekerjaan haram itu. Aku
tak habis pikir. Memuakkan. Mengapa gadis yang kucintai harus menjadi seorang
wanita tuna susila. Menyedihkan. Tapi itu belum tentu benar.
Hatiku mencoba mencari keyakinan
positif tentang Anita. Kulihat selama ini Anita adalah sosok gadis yang ramah,
baik hati, walau sedikit tertutup mengenai kehidupannya. Sesaat terdorong juga
diriku untuk mencari informasi dari Radja.
"Hahahaha...gadis itu? Memang
bener, Fry. Anita bukan gadis baik-baik. Dalam diamnya tersimpan sebuah
keliaran yang mengimpikan sejumlah materi."
"Materi?" Aku tak mengerti
arah pembicaraan Koko.
"Iya. Gadis itu cuma ngejar
uang. Dia memberikan tubuhnya demi uang."
Badanku gemetar mendengar kata-kata Koko barusan. Jadi benar...
"Bagaimana kamu bisa tahu, Ko?"
Aku harus tahu semua. Aku harus tahu
ada rahasia apa pada diri gadis yang kucintai itu. Saat ini aku merasa menjadi
orang bodoh yang tak tahu apa-apa.
"Waktu aku ajak Anita ke
pantai, dia mau saja. Di sana, aku mulai menyentuhnya."
"Terus?"
"Aku cium dia. Pipinya,
bibirnya. Aku nggak nyangka Anita bersikap biasa saja saat itu. Seolah dia
telah berpengalaman lebih dari aku."
"Hem..." Aku cuma bisa
menggumam.
"Lalu aku buka baju dan
kutangnya. Gila! Gadis itu seperti sengaja menyodorkan tubuhnya untukku.
Terakhir, dia malah minta bayaran padaku."
Aku tak tahan lagi mendengar semua
ini. Menjijikkan! Gadis murahan!
Makiku dalam hati. Kutahan Koko
meneruskan ceritanya. Bagiku semua sudah
cukup. Sekarang aku hanya ingin
menyendiri. Sendiri!
Hari-hari berlalu seperti biasanya.
Tapi hubunganku dengan Anita malah semakin dekat. Kami sering ngobrol berdua
baik di dalam ataupun luar kampus. Kusadari kalau teman-temanku kurang suka
dengan sikapku ini.
Namun jujur aku sendiri tak bisa
menghilangkan rasa rindu dan cintaku pada Anita setiap hari. Seperti sore ini
di kos Anita. Ironisnya kulihat Anita juga menunjukkan sikap jatuh cinta
padaku. Walaupun setelah sekian lama kami begitu dekat, aku tetap tak berhasil
membuat gadis itu terbuka padaku mengenai kehidupan pribadinya.
Malam ini, aku merasa sangat pusing
dengan perasaanku sendiri. Aku tak sanggup menahan rasa cintaku pada Anita.
Harus kuungkapkan malam ini juga! Batinku memaksaku melangkahkan kaki keluar
menuju kos Anita.
Sesampai di kos Anita, aku tak
menjumpai gadis itu.
"Keluar, mas. Dari jam 8 tadi."
Kata seorang teman kos Anita yang membukakan pintu.
Aku segera berangsur pergi tanpa
pikir panjang lagi. Akhirnya dua roda motorku melaju sepanjang jalan-jalan kota Medan tanpa ada arah tujuan yang pasti.
Di sebuah jalan sepi di pinggir
kota, kulihat Anita sedang berdua dengan seorang lelaki yang mungkin lebih
cocok disebut pamannya. Mereka keluar dari sebuah mobil sedan putih dan kulihat
Anita berdiri bersandar pada mobil itu. Lelaki itu mendekatinya dan memeluk
erat tubuh Anita tanpa ragu-ragu. Serentak wajah sumringah milik Anita
terhujani ciuman penuh nafsu dari lelaki itu.
Aku mau muntah melihatnya. Darahku
memanas naik ke sekujur tubuhku. Nafasku mengalir tak beraturan. Apa-apaan ini?
Aku benar-benar tak ingin mempercayainya.
Tak lama kemudian mereka berjalan
masuk ke rumah kecil yang tak berada jauh dari tempat lelaki itu memarkirkan
mobilnya. Tangan lelaki itu melingkari pinggul Anita dengan mesra sambil
sesekali mencumbui Anita yang tampaknya sangat lihai meladeni lelaki itu. Lalu
mereka berdua hilang dari pandanganku. Aku tak berani mendekati rumah itu. Aku
tak berani membayangkan apa yang akan mereka lakukan di dalam rumah itu. Atau
aku tak ingin mengakui semua yang telah kulihat ini? Entahlah. Lebih baik aku
pulang.
Kendaraanku melaju kencang menabrak
hembusan angin malam yang terasa sangat dingin menusuk tulang rusukku.
Sepanjang jalan pikiranku teringat pada sosok gadis pendiam yang selama ini
membangun taman bunga cinta di hatiku.
Ini adalah hari ke empat sejak aku
melihat kejadian di jalan sepi itu. Aku jarang menemui Anita lagi. Tapi sore
ini aku sudah berada duduk di kursi ruang tamu rumah kos gadis itu. Kurasa aku
harus menanyakan semuanya pada Anita. Hari ini gadis itu harus membuka semua
dengan jujur di hadapanku. Aku tak perduli hal-hal lain selain kejelasan
mengenai diri Anita.
"Jadi kamu sudah tahu
semuanya?"
Suara Anita tampak bergetar takut
saat mendengar ceritaku yang melihatnya berdua dengan lelaki bermobil sedan
itu."
"Ya! Dan aku ingin tahu ada
hubungan apa kamu dengan laki-laki itu?"
"Aku tak bisa
menjawabnya."
"Tapi kamu tetap harus
menjelaskannya padaku saat ini juga."
"Bukankah kamu sudah dengar
dari semua yang dikatakan anak-anak kampus selama ini tentangku?"
"Aku mau dengar dari mulutmu
sendiri, Nit."
Gadis itu hanya diam dan diam sambil
menundukkan kepalanya.
"Nit, apa kamu tidak tahu kalau
aku mencintaimu? Aku ingin tahu tentangmu tanpa ada rahasia apapun di antara
kita."
"Maafkan aku."
"Nit, apa kamu juga punya
perasaan yang sama terhadapku?"
Anita menganggukkan kepalanya.
"Ya, aku pun mencintaimu." Suaranya terasa gamang menjawab
pertanyaanku.
Ada sedikit rasa bahagia di hatiku
mendengar jawabannya.
"Baiklah. Lalu siapa laki-laki
itu, Nit? Apa semua yang dikatakan anak-anak kampus itu benar? Apa kamu memang
seorang wanita...." Aku tak ingin meneruskan kata-kataku. Sungguh menyebut
kata-kata itu pun aku sudah merasa risih.
"Iya. Semua itu benar. Aku
memang wanita penghibur."
Aku kaget setengah mati. Anita,
gadis muda belia yang cantik dan baik hati, yang selama ini memenuhi
mimpi-mimpi malamku, ternyata memang benar melakukan pekerjaan haram dan
murahan itu. Mendadak rasa cintaku luntur terkikis sedikit demi sedikit dalam
kalbuku. Aku kecewa. Sangat kecewa.
"Kenapa kamu sampai melakukan
pekerjaan itu, Nit?" Aku tak tahu kenapa aku bertanya hal ini pada Anita.
"Aku terpaksa. Aku butuh uang
untuk membayar biaya kuliahku. Juga menanggung biaya hidup keluargaku di
desa."
Masih banyak lagi yang dikatakan
oleh Anita. Tapi aku tak begitu memperhatikan. Aku tahu ia punya alasan yang
cukup masuk akal. Meskipun itu alasan klasik. Aku lebih merasa bingung melihat
tubuh Anita yang semakin bergetar kencang di depanku. Tampak sekali kalau gadis
itu begitu rapuh dan tak kuat menghadapi sikapku. Seolah ia merasa sangat
bersalah padaku. Sedang aku sendiri tak tahu harus berbuat apa.
Memeluknya? Bahkan jiwaku seperti
melarangku untuk menyentuh gadis itu. Aku pusing. Sebersit rasa sedih dan
bersalah menggayuti batinku. Begitu teganya aku menghakimi seorang gadis belia yang
telah mempunyai kesulitan hidup yang begitu rupa. Yang sebenarnya ia juga ingin
mempunyai kehidupan normal seperti gadis-gadis lainnya. Betapa jahatnya aku.
Ini sangat tidak adil bagi Anita.
"Lebih baik aku pulang."
Akhirnya aku memecah keheningan kami
berdua. Hari sudah makin malam. Aku ingin segera sampai di kosku.
"Djufry, aku sungguh
mencintaimu." Anita berkata dengan pelan sekali sebelum aku meninggalkan
teras rumahnya.
"Maafkan aku, Nit."
Tak ada lagi yang bisa aku lakukan
di sini. Aku harus menenangkan pikiran dan perasaanku sendiri.
Sudah hampir sebulan aku tak bertemu
dengan Anita di kampus. Aku pun tak pernah lagi mencoba menemuinya di kosnya.
Aku sudah terlanjur kecewa. Aku tak bisa menerima pekerjaan yang dilakukannya
selama ini. Teman-temanku di kampus pun tak ada yang tahu tentang keberadaan Anita.
Anita seolah tenggelam di kampus kami. Berita dan omongan-omongan miring
tentangnya pun tak terdengar lagi. Sepi.
Sampai suatu hari salah satu surat
kabar memberitakan tentang kematian seorang wanita tuna susila yang terbunuh
secara mengenaskan. Bulu kudukku meremang saat kubaca jati diri wanita yang
meninggal itu. Inisial AS, berusia 21 tahun. Seluruh tubuhku lemas seketika.
Setelah kutanyakan pada pihak berwajib mengenai tanda pengenal wanita itu,
yakinlah aku bahwa gadis itu adalah Anita. Aku hanya terdiam menatap berita di
koran itu. Kenapa bisa jadi begini, Nit?
Esok harinya, ada seorang teman kos Anita
yang datang menemuiku. Ia membawa sebuah surat yang katanya dititipkan Anita
seminggu sebelum kejadian pembunuhan itu. Aku sedikit ragu menerima surat itu.
Kubaca isi lembaran surat dari Anita
dengan perlahan. Semakin aku merasa bersalah pada gadis itu. Ingin aku meminta
maaf padanya atas apa yang telah aku lakukan sebulan lalu. Saat aku
menghakiminya dengan begitu menyakitkan. Sementara aku tak punya hak apa-apa
untuk memintanya menjelaskan semua kehidupan pribadinya.
"Djufry, aku bahagia bisa dekat
denganmu. Dan aku senang kau tidak begitu saja mempercayai omongan teman-teman
tentang aku. Aku percaya kalau kau benar-benar mencintaiku. Maafkan aku, Fry.
Karena selama ini aku tidak terbuka padamu. Tapi terakhir aku bicara padamu,
membuka semua aib diriku, kulakukan semata karena cintaku padamu. Jujur, Fry,
aku juga mencintaimu. Namun aku tak berani memintamu melanjutkan cintamu sejak
kau tahu tentang pekerjaanku itu. Aku sadar, gadis sepertiku tak berhak
merasakan ketulusan cintamu. Kamu terlalu baik untukku. Semoga kamu mendapatkan
gadis lain yang mencintaimu dengan keanggunan yang sesungguhnya. Aku hanyalah gadis
malam. Kehadiranku di dekatmu hanya akan membuat malam-malammu berubah
kelam....."
Kulipat surat dari Anita dengan hati
galau. Seiring kututup kisah cinta singkatku dengannya. Terbayang lagi wajah
sumringah yang selalu ditemani bibir mungil yang terkunci rapat.
Selamat jalan, gadisku. Selamat
malam, gadisku.
Kujatuhkan tubuhku di kasur kamarku.
Aku lelah. Kuharap malam ini aku bisa menata mimpi baru untuk menyambut pagi
lagi.
Teman-teman, Apakah Ada Pesan Moral
nya ?? Nilai nilai Positif apa yang dapat kita renungkan ??
"Cerita Ini Adalah Hasil Editan Dari Sumbernya (www.***.com", Lupa Sumbernya)" Maaf Friend....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda Terhadap Blog Saya Ini Yang Bersifat Membangun. Terimakasih.