Minggu, 26 Februari 2012

Cinta Itu Buta

"Cinta Itu Buta"
Dia tampak begitu anggun dengan kemeja biru muda dan celana panjang hitamnya pagi ini. Mataku tak pernah lepas memandang wajah sumringah gadis asli Tapanuli yang saat ini kuliah satu kampus denganku. Tepatnya dia adalah adik tingkatku. Sejak awal dia masuk kuliah, aku sudah tertarik padanya. Entah kenapa, gadis itu merebut perhatianku dengan sikapnya yang lebih sering diam daripada bicara pada orang lain.

Anita. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan Nita. Nama itu pun kuketahui dari teman-temanku sebelum dia mau menerima uluran tanganku saat kuajak berkenalan. Dingin, sedikit aneh, namun penuh daya tarik, itulah pandanganku tentangnya diawal perkenalan. Dapat kurasakan ada sejuta misteri tersimpan dalam diri gadis itu. Dan saat ini, aku telah sedikit menemukan jawabannya.


Anita tidak seperti gadis pada umumnya. Dia bukan gadis baik-baik. Lebih baik kau pikirkan lagi sebelum terlanjur jauh berhubungan dengannya."

Sanz, teman dekatku di kampus, lagi-lagi mengatakan hal yang sama untuk kesekian kalinya. Ini sudah ketiga kalinya ia bicara begitu tentang Anita. Ya. Sejak kukatakan kalau aku jatuh cinta pada Nita.

Itu kan baru omongan anak-anak, Sanz Kita sendiri nggak tahu kebenarannya."

"Matamu benar-benar tertutup sama yang namanya cinta."

Aku mengangkat bahu sambil menyeringai ke arah Sanz. Dia cuma mendesah kesal melihat sikapku. Ngotot! Itu istilah Sanz untukku.

"Apa kamu sudah membuktikannya sendiri, Sanz?"
"Ha? Maksudmu?"
"Ya....apa kamu pernah lihat sendiri Anita melakukan pekerjaan itu?"
"Belum sih. Tapi Radja, playboy kelas kakap itu katanya pernah merasakannya langsung."
"Ah! Merasakan apa?"
"Tingkah liar Anita." Sanz diam sejenak. "Radja kan pernah pacaran sama dia. Kalau mau tahu persis, tanya aja sama Radja."
"Tapi kalau cuma gara-gara Radja, ya nggak bisa jadi bukti untuk memvonis Anita melakukan pekerjaan itu kan?"
"Eh, mas, anak-anak sudah tahu semua soal pekerjaan Anita. Atau kau langsung saja cari tahu dari Anitanya sendiri."
" Gila kamu!"

Kutinggalkan Sanz untuk masuk kuliah. Kulihat ia masih cengar-cengir nggak karuan.

Di ruang kuliah pikiranku melayang pada Anita. Berjuta pertanyaan menyesaki pikiranku siang ini. Kadang aku merasa risih juga kalau mengingat pekerjaan Anita seperti apa yang dikatakan anak-anak di kampus. Serendah itukah Anita? Menjadi seorang wanita penghibur yang keluar tiap malam untuk melayani para lelaki hidung belang dan bertangan nakal. Jika memang benar, apa alasan Anita hingga mau melakukan pekerjaan haram itu. Aku tak habis pikir. Memuakkan. Mengapa gadis yang kucintai harus menjadi seorang wanita tuna susila. Menyedihkan. Tapi itu belum tentu benar.

Hatiku mencoba mencari keyakinan positif tentang Anita. Kulihat selama ini Anita adalah sosok gadis yang ramah, baik hati, walau sedikit tertutup mengenai kehidupannya. Sesaat terdorong juga diriku untuk mencari informasi dari Radja.

"Hahahaha...gadis itu? Memang bener, Fry. Anita bukan gadis baik-baik. Dalam diamnya tersimpan sebuah keliaran yang mengimpikan sejumlah materi."
"Materi?" Aku tak mengerti arah pembicaraan Koko.
"Iya. Gadis itu cuma ngejar uang. Dia memberikan tubuhnya demi uang."

Badanku gemetar mendengar kata-kata Koko barusan. Jadi benar...

"Bagaimana kamu bisa tahu, Ko?"

Aku harus tahu semua. Aku harus tahu ada rahasia apa pada diri gadis yang kucintai itu. Saat ini aku merasa menjadi orang bodoh yang tak tahu apa-apa.

"Waktu aku ajak Anita ke pantai, dia mau saja. Di sana, aku mulai menyentuhnya."
"Terus?"
"Aku cium dia. Pipinya, bibirnya. Aku nggak nyangka Anita bersikap biasa saja saat itu. Seolah dia telah berpengalaman lebih dari aku."
"Hem..." Aku cuma bisa menggumam.
"Lalu aku buka baju dan kutangnya. Gila! Gadis itu seperti sengaja menyodorkan tubuhnya untukku. Terakhir, dia malah minta bayaran padaku."

Aku tak tahan lagi mendengar semua ini. Menjijikkan! Gadis murahan!
Makiku dalam hati. Kutahan Koko meneruskan ceritanya. Bagiku semua sudah
cukup. Sekarang aku hanya ingin menyendiri. Sendiri!

Hari-hari berlalu seperti biasanya. Tapi hubunganku dengan Anita malah semakin dekat. Kami sering ngobrol berdua baik di dalam ataupun luar kampus. Kusadari kalau teman-temanku kurang suka dengan sikapku ini.

Namun jujur aku sendiri tak bisa menghilangkan rasa rindu dan cintaku pada Anita setiap hari. Seperti sore ini di kos Anita. Ironisnya kulihat Anita juga menunjukkan sikap jatuh cinta padaku. Walaupun setelah sekian lama kami begitu dekat, aku tetap tak berhasil membuat gadis itu terbuka padaku mengenai kehidupan pribadinya.

Malam ini, aku merasa sangat pusing dengan perasaanku sendiri. Aku tak sanggup menahan rasa cintaku pada Anita. Harus kuungkapkan malam ini juga! Batinku memaksaku melangkahkan kaki keluar menuju kos Anita.

Sesampai di kos Anita, aku tak menjumpai gadis itu.

"Keluar, mas. Dari jam 8 tadi." Kata seorang teman kos Anita yang membukakan pintu.

Aku segera berangsur pergi tanpa pikir panjang lagi. Akhirnya dua roda motorku melaju sepanjang jalan-jalan kota Medan tanpa ada arah tujuan yang pasti.

Di sebuah jalan sepi di pinggir kota, kulihat Anita sedang berdua dengan seorang lelaki yang mungkin lebih cocok disebut pamannya. Mereka keluar dari sebuah mobil sedan putih dan kulihat Anita berdiri bersandar pada mobil itu. Lelaki itu mendekatinya dan memeluk erat tubuh Anita tanpa ragu-ragu. Serentak wajah sumringah milik Anita terhujani ciuman penuh nafsu dari lelaki itu.

Aku mau muntah melihatnya. Darahku memanas naik ke sekujur tubuhku. Nafasku mengalir tak beraturan. Apa-apaan ini? Aku benar-benar tak ingin mempercayainya.

Tak lama kemudian mereka berjalan masuk ke rumah kecil yang tak berada jauh dari tempat lelaki itu memarkirkan mobilnya. Tangan lelaki itu melingkari pinggul Anita dengan mesra sambil sesekali mencumbui Anita yang tampaknya sangat lihai meladeni lelaki itu. Lalu mereka berdua hilang dari pandanganku. Aku tak berani mendekati rumah itu. Aku tak berani membayangkan apa yang akan mereka lakukan di dalam rumah itu. Atau aku tak ingin mengakui semua yang telah kulihat ini? Entahlah. Lebih baik aku pulang.

Kendaraanku melaju kencang menabrak hembusan angin malam yang terasa sangat dingin menusuk tulang rusukku. Sepanjang jalan pikiranku teringat pada sosok gadis pendiam yang selama ini membangun taman bunga cinta di hatiku.

Ini adalah hari ke empat sejak aku melihat kejadian di jalan sepi itu. Aku jarang menemui Anita lagi. Tapi sore ini aku sudah berada duduk di kursi ruang tamu rumah kos gadis itu. Kurasa aku harus menanyakan semuanya pada Anita. Hari ini gadis itu harus membuka semua dengan jujur di hadapanku. Aku tak perduli hal-hal lain selain kejelasan mengenai diri Anita.

"Jadi kamu sudah tahu semuanya?"

Suara Anita tampak bergetar takut saat mendengar ceritaku yang melihatnya berdua dengan lelaki bermobil sedan itu."

"Ya! Dan aku ingin tahu ada hubungan apa kamu dengan laki-laki itu?"
"Aku tak bisa menjawabnya."
"Tapi kamu tetap harus menjelaskannya padaku saat ini juga."
"Bukankah kamu sudah dengar dari semua yang dikatakan anak-anak kampus selama ini tentangku?"
"Aku mau dengar dari mulutmu sendiri, Nit."

Gadis itu hanya diam dan diam sambil menundukkan kepalanya.

"Nit, apa kamu tidak tahu kalau aku mencintaimu? Aku ingin tahu tentangmu tanpa ada rahasia apapun di antara kita."
"Maafkan aku."
"Nit, apa kamu juga punya perasaan yang sama terhadapku?"

Anita menganggukkan kepalanya. "Ya, aku pun mencintaimu." Suaranya terasa gamang menjawab pertanyaanku.

Ada sedikit rasa bahagia di hatiku mendengar jawabannya.

"Baiklah. Lalu siapa laki-laki itu, Nit? Apa semua yang dikatakan anak-anak kampus itu benar? Apa kamu memang seorang wanita...." Aku tak ingin meneruskan kata-kataku. Sungguh menyebut kata-kata itu pun aku sudah merasa risih.
"Iya. Semua itu benar. Aku memang wanita penghibur."

Aku kaget setengah mati. Anita, gadis muda belia yang cantik dan baik hati, yang selama ini memenuhi mimpi-mimpi malamku, ternyata memang benar melakukan pekerjaan haram dan murahan itu. Mendadak rasa cintaku luntur terkikis sedikit demi sedikit dalam kalbuku. Aku kecewa. Sangat kecewa.

"Kenapa kamu sampai melakukan pekerjaan itu, Nit?" Aku tak tahu kenapa aku bertanya hal ini pada Anita.
"Aku terpaksa. Aku butuh uang untuk membayar biaya kuliahku. Juga menanggung biaya hidup keluargaku di desa."

Masih banyak lagi yang dikatakan oleh Anita. Tapi aku tak begitu memperhatikan. Aku tahu ia punya alasan yang cukup masuk akal. Meskipun itu alasan klasik. Aku lebih merasa bingung melihat tubuh Anita yang semakin bergetar kencang di depanku. Tampak sekali kalau gadis itu begitu rapuh dan tak kuat menghadapi sikapku. Seolah ia merasa sangat bersalah padaku. Sedang aku sendiri tak tahu harus berbuat apa.

Memeluknya? Bahkan jiwaku seperti melarangku untuk menyentuh gadis itu. Aku pusing. Sebersit rasa sedih dan bersalah menggayuti batinku. Begitu teganya aku menghakimi seorang gadis belia yang telah mempunyai kesulitan hidup yang begitu rupa. Yang sebenarnya ia juga ingin mempunyai kehidupan normal seperti gadis-gadis lainnya. Betapa jahatnya aku. Ini sangat tidak adil bagi Anita.

"Lebih baik aku pulang."

Akhirnya aku memecah keheningan kami berdua. Hari sudah makin malam. Aku ingin segera sampai di kosku.

"Djufry, aku sungguh mencintaimu." Anita berkata dengan pelan sekali sebelum aku meninggalkan teras rumahnya.
"Maafkan aku, Nit."

Tak ada lagi yang bisa aku lakukan di sini. Aku harus menenangkan pikiran dan perasaanku sendiri.

Sudah hampir sebulan aku tak bertemu dengan Anita di kampus. Aku pun tak pernah lagi mencoba menemuinya di kosnya. Aku sudah terlanjur kecewa. Aku tak bisa menerima pekerjaan yang dilakukannya selama ini. Teman-temanku di kampus pun tak ada yang tahu tentang keberadaan Anita. Anita seolah tenggelam di kampus kami. Berita dan omongan-omongan miring tentangnya pun tak terdengar lagi. Sepi.

Sampai suatu hari salah satu surat kabar memberitakan tentang kematian seorang wanita tuna susila yang terbunuh secara mengenaskan. Bulu kudukku meremang saat kubaca jati diri wanita yang meninggal itu. Inisial AS, berusia 21 tahun. Seluruh tubuhku lemas seketika. Setelah kutanyakan pada pihak berwajib mengenai tanda pengenal wanita itu, yakinlah aku bahwa gadis itu adalah Anita. Aku hanya terdiam menatap berita di koran itu. Kenapa bisa jadi begini, Nit?

Esok harinya, ada seorang teman kos Anita yang datang menemuiku. Ia membawa sebuah surat yang katanya dititipkan Anita seminggu sebelum kejadian pembunuhan itu. Aku sedikit ragu menerima surat itu.

Kubaca isi lembaran surat dari Anita dengan perlahan. Semakin aku merasa bersalah pada gadis itu. Ingin aku meminta maaf padanya atas apa yang telah aku lakukan sebulan lalu. Saat aku menghakiminya dengan begitu menyakitkan. Sementara aku tak punya hak apa-apa untuk memintanya menjelaskan semua kehidupan pribadinya.

"Djufry, aku bahagia bisa dekat denganmu. Dan aku senang kau tidak begitu saja mempercayai omongan teman-teman tentang aku. Aku percaya kalau kau benar-benar mencintaiku. Maafkan aku, Fry. Karena selama ini aku tidak terbuka padamu. Tapi terakhir aku bicara padamu, membuka semua aib diriku, kulakukan semata karena cintaku padamu. Jujur, Fry, aku juga mencintaimu. Namun aku tak berani memintamu melanjutkan cintamu sejak kau tahu tentang pekerjaanku itu. Aku sadar, gadis sepertiku tak berhak merasakan ketulusan cintamu. Kamu terlalu baik untukku. Semoga kamu mendapatkan gadis lain yang mencintaimu dengan keanggunan yang sesungguhnya. Aku hanyalah gadis malam. Kehadiranku di dekatmu hanya akan membuat malam-malammu berubah kelam....."

Kulipat surat dari Anita dengan hati galau. Seiring kututup kisah cinta singkatku dengannya. Terbayang lagi wajah sumringah yang selalu ditemani bibir mungil yang terkunci rapat.

Selamat jalan, gadisku. Selamat malam, gadisku.

Kujatuhkan tubuhku di kasur kamarku. Aku lelah. Kuharap malam ini aku bisa menata mimpi baru untuk menyambut pagi lagi. 

Teman-teman, Apakah Ada Pesan Moral nya ?? Nilai nilai Positif apa yang dapat kita renungkan ??
"Cerita Ini Adalah Hasil Editan Dari Sumbernya (www.***.com", Lupa Sumbernya)" Maaf Friend....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda Terhadap Blog Saya Ini Yang Bersifat Membangun. Terimakasih.